8 Mei1993 pada umur 24 tahun) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.
Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.
Latar Belakang
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Garis waktu
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Simbol Pencari Keadilan yang Terlupakan
Jakarta, Sinar Harapan
Misteri pembunuhan Marsinah—seorang buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur—tanggal 8 Mei 1993 yang sempat menghebohkan waktu itu dan pelakunya hingga kini belum terungkap diangkat ke layar lebar lewat judul Marsinah (Cry Justice). .
Misteri pembunuhan Marsinah—seorang buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur—tanggal 8 Mei 1993 yang sempat menghebohkan waktu itu dan pelakunya hingga kini belum terungkap diangkat ke layar lebar lewat judul Marsinah (Cry Justice). .
Film berdurasi dua jam yang disutradarai Slamet Rahardjo Djarot itu menggunakan cara bertutur kronologis lengkap dengan tanggal dan tempat kejadian, tak ubahnya seperti film dokumenter. Dibuka dengan adegan unjuk rasa buruh PT CPS, film bergulir dengan adegan penangkapan para buruh dan petinggi PT CPS oleh sejumlah oknum berbaju preman, diselang-seling adegan hitam putih yang menceritakan kilas balik saat Marsinah bersama rekan-rekannya menggerakkan buruh untuk meminta hak mereka.
Seperti yang biasa terjadi di rezim Orde Baru dulu, setiap orang yang diciduk oleh oknum-–sebagai kata ganti aparat militer—mengalami siksaan. Tiga belas orang buruh yang ditangkap, semuanya dituduh PKI, sebuah stigma yang biasa diberikan masa Orde Baru dulu untuk orang-orang yang mengikuti aksi demonstrasi yang dianggap bisa mengganggu stabilitas keamanan nasional. Tak kurang delapan petinggi PT CPS yang ditangkap tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodim Brawijaya.
Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Awalnya mereka semua mengelak terlibat, tapi akibat siksaan yang tiada henti, satu per satu akhirnya terpaksa mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Mutiari yang sedang hamil muda pun, tak urung keguguran saat diinterogasi.
Menyadari istrinya hilang, suami Mutiari, Hari Sarwono mencari istrinya ke mana-mana. Mulai dari pabrik PT CPS hingga ke kantor polisi setempat. Bisa ditebak, hasilnya nihil. Dari informasi yang diperoleh dari seorang karyawan PT CPS, Hari mengetahui kalau istrinya dibawa oknum tak dikenal. Hari lalu mendatangi LBH Yayasan Persada Indonesia, Surabaya untuk mencari bantuan. Sementara itu, keluarga Hari merasa malu atas pemberitaan media mengenai pelaku pembunuhan Marsinah yang mengarah pada Mutiari dan rekan-rekannya, meminta Hari untuk menceraikan Mutiari.
Hari yang yakin istrinya tidak bersalah, menolak permintaan keluarganya dan semakin getol mencari bantuan. Tak tanggung-tanggung, Hari mendatangi SCTV Surabaya untuk menceritakan istrinya yang hilang. Di situ Hari juga mengungkapkan oknum yang terlibat dalam penangkapan istrinya, yang diduganya sebagai anggota militer. Berita seputar terbunuhnya Marsinah dan penangkapan karyawan PT CPS yang semakin gencar membuat aparat militer panik. Apalagi Hari bermaksud mempraperadilankan aparat atas penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai prosedur.
Aparat balik menekan Mutiari dan mempercepat proses pemeriksaan, dipindahkan ke tahanan Polda Jawa Timur hingga akhirnya Mutiari dipaksa menandatangani BAP dan diajukan ke pengadilan sebagai tersangka. Karena keburu diajukan ke pengadilan, gugatan pra peradilan gugur dan sidang Mutiari digelar lebih cepat dibandingkan rekan-rekannya yang lain sebagai ”hukuman” karena suaminya bersikeras mempraperadilankan aparat.
Sisa film dipenuhi dengan adegan pengadilan Mutiari dan rekan-rekannya yang divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo, sampai mereka mengajukan banding dan kasasi ke MA yang membebaskan mereka karena tidak cukup bukti. Sementara pembunuh Marsinah yang sebenarnya tak pernah terungkap. Film diakhiri dengan adegan adik Marsinah, Marsini, yang menangis sambil menatap tumpukan majalah dan koran yang dipenuhi berita Marsinah mempertanyakan siapakah yang sebenarnya membunuh kakak kandungnya.
Dokumenter
Film yang berjudul Marsinah ini boleh dibilang telah lama ditunggu. Ada sepercik harapan untuk menyaksikan kisah perjuangan Marsinah yang menjadi bahan pembicaraan beberapa tahun lampau. Namun ternyata, Slamet Rahardjo tidak memberi porsi penuh pada Marsinah. Alih-alih, ia malah menggambarkan perjuangan Mutiari, mantan tersangka utama pembunuh Marsinah, untuk memperoleh keadilan. Tokoh Marsinah hanya muncul dalam cerita kilas balik yang digambarkan hitam-putih.
Penonton tidak diberi pengantar yang cukup untuk mengetahui sosok Marsinah dan apa yang membuatnya sampai tewas terbunuh, sehingga kematiannya memang perlu dijadikan bahan renungan. Penonton hanya disuguhi adegan Marsinah terbunuh, divisum dan dikuburkan hingga sempat dibongkar lagi untuk diperiksa ulang. Mengingat kurun waktu yang cukup lama dari peristiwa yang terjadi hampir 10 tahun lampau, kata pengantar agaknya diperlukan, apalagi bagi penonton yang ketika itu belum mengikuti peristiwa tersebut sehingga harus meraba-raba peristiwa yang terjadi.
Yang patut dipuji adalah keberanian sang sutradara mengungkap oknum alias aparat yang terlibat. Tanpa menyebut nama, sutradara cukup jelas memberikan gambaran siapa pihak yang berwenang saat itu. Selain itu, akting dan wajah para pemain yang notabene pemain baru, juga cukup lumayan. Sayangnya, hingga akhir film usai pertanyaan besar mengenai perjuangan Marsinah tak pernah terungkap.
Seperti yang biasa terjadi di rezim Orde Baru dulu, setiap orang yang diciduk oleh oknum-–sebagai kata ganti aparat militer—mengalami siksaan. Tiga belas orang buruh yang ditangkap, semuanya dituduh PKI, sebuah stigma yang biasa diberikan masa Orde Baru dulu untuk orang-orang yang mengikuti aksi demonstrasi yang dianggap bisa mengganggu stabilitas keamanan nasional. Tak kurang delapan petinggi PT CPS yang ditangkap tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodim Brawijaya.
Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Awalnya mereka semua mengelak terlibat, tapi akibat siksaan yang tiada henti, satu per satu akhirnya terpaksa mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Mutiari yang sedang hamil muda pun, tak urung keguguran saat diinterogasi.
Menyadari istrinya hilang, suami Mutiari, Hari Sarwono mencari istrinya ke mana-mana. Mulai dari pabrik PT CPS hingga ke kantor polisi setempat. Bisa ditebak, hasilnya nihil. Dari informasi yang diperoleh dari seorang karyawan PT CPS, Hari mengetahui kalau istrinya dibawa oknum tak dikenal. Hari lalu mendatangi LBH Yayasan Persada Indonesia, Surabaya untuk mencari bantuan. Sementara itu, keluarga Hari merasa malu atas pemberitaan media mengenai pelaku pembunuhan Marsinah yang mengarah pada Mutiari dan rekan-rekannya, meminta Hari untuk menceraikan Mutiari.
Hari yang yakin istrinya tidak bersalah, menolak permintaan keluarganya dan semakin getol mencari bantuan. Tak tanggung-tanggung, Hari mendatangi SCTV Surabaya untuk menceritakan istrinya yang hilang. Di situ Hari juga mengungkapkan oknum yang terlibat dalam penangkapan istrinya, yang diduganya sebagai anggota militer. Berita seputar terbunuhnya Marsinah dan penangkapan karyawan PT CPS yang semakin gencar membuat aparat militer panik. Apalagi Hari bermaksud mempraperadilankan aparat atas penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai prosedur.
Aparat balik menekan Mutiari dan mempercepat proses pemeriksaan, dipindahkan ke tahanan Polda Jawa Timur hingga akhirnya Mutiari dipaksa menandatangani BAP dan diajukan ke pengadilan sebagai tersangka. Karena keburu diajukan ke pengadilan, gugatan pra peradilan gugur dan sidang Mutiari digelar lebih cepat dibandingkan rekan-rekannya yang lain sebagai ”hukuman” karena suaminya bersikeras mempraperadilankan aparat.
Sisa film dipenuhi dengan adegan pengadilan Mutiari dan rekan-rekannya yang divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo, sampai mereka mengajukan banding dan kasasi ke MA yang membebaskan mereka karena tidak cukup bukti. Sementara pembunuh Marsinah yang sebenarnya tak pernah terungkap. Film diakhiri dengan adegan adik Marsinah, Marsini, yang menangis sambil menatap tumpukan majalah dan koran yang dipenuhi berita Marsinah mempertanyakan siapakah yang sebenarnya membunuh kakak kandungnya.
Dokumenter
Film yang berjudul Marsinah ini boleh dibilang telah lama ditunggu. Ada sepercik harapan untuk menyaksikan kisah perjuangan Marsinah yang menjadi bahan pembicaraan beberapa tahun lampau. Namun ternyata, Slamet Rahardjo tidak memberi porsi penuh pada Marsinah. Alih-alih, ia malah menggambarkan perjuangan Mutiari, mantan tersangka utama pembunuh Marsinah, untuk memperoleh keadilan. Tokoh Marsinah hanya muncul dalam cerita kilas balik yang digambarkan hitam-putih.
Penonton tidak diberi pengantar yang cukup untuk mengetahui sosok Marsinah dan apa yang membuatnya sampai tewas terbunuh, sehingga kematiannya memang perlu dijadikan bahan renungan. Penonton hanya disuguhi adegan Marsinah terbunuh, divisum dan dikuburkan hingga sempat dibongkar lagi untuk diperiksa ulang. Mengingat kurun waktu yang cukup lama dari peristiwa yang terjadi hampir 10 tahun lampau, kata pengantar agaknya diperlukan, apalagi bagi penonton yang ketika itu belum mengikuti peristiwa tersebut sehingga harus meraba-raba peristiwa yang terjadi.
Yang patut dipuji adalah keberanian sang sutradara mengungkap oknum alias aparat yang terlibat. Tanpa menyebut nama, sutradara cukup jelas memberikan gambaran siapa pihak yang berwenang saat itu. Selain itu, akting dan wajah para pemain yang notabene pemain baru, juga cukup lumayan. Sayangnya, hingga akhir film usai pertanyaan besar mengenai perjuangan Marsinah tak pernah terungkap.
No comments:
Post a Comment