Oleh: Anang Hermawan
Abstract
Semiotic is one of considerable approach in study of media, especially television ads. Emerging from meaning-based models, semiotic of television ads differ from the traditional information processing approach to advertising reception principally because advertising meanings are constructed within the signifying frame of the “text” by audience or “ads reader” rather than simply being delivered in content by the advertising. In effect, passive terms such as ‘reception’ and ‘processing’ in advertising-audience relationship are rejected by meaning-based models and replaced with the more active concept of ‘interpretation’. This subtle shift in the advertising’s syntagmatic and paradigmatic locus has had a number of major theoretical implications for the study of advertising interpretation. Most important, meaning-based models stress that audience members may well produce different interpretations about “meaning” in television ads.
Keywords:
iklan, televisi, semiotika, bahasa, representasi, teks, penanda, petanda, denotasi, konotasi, mitos, ideologi, sintagma, paradigma.
Pendahuluan
Urat nadi kehidupan televisi (swasta) terletak pada iklan. Tanpa iklan, mustahil sebuah televisi mempertahankan eksistensinya. Bagi produsen, iklan bukan hanya menjadi alat promosi barang maupun jasa, melainkan juga untuk menanamkan citra kepada konsumen maupun calon konsumen tentang produk yang ditawarkan. Citra yang dibentuk oleh iklan seringkali menggiring khalayak untuk percaya pada produk, sehingga mendorong calon konsumen untuk mengkonsumsi maupun mempertahankan loyalitas konsumen.
Dalam konteks ”pembacaan” iklan televisi, mempertalikan iklan dan semiotika nampaknya dapat menjadi satu diskusi yang menarik. Sebagian tayangan iklan seringkali bukan menawarkan produk semata, tetapi juga melekatkan sistem keyakinan dan nilai tertentu. Budaya punya harga di sini. Dalam catatan Graeme Burton (2007: 40), barang-barang yang diiklankan ditelevisi akan memperoleh nilai kultural. Iklan yang pada dasarnya sekadar kegiatan promosional atas produk menjadi kegiatan pemasaran seperangkat nilai dan keyakinan. Iklan televisi telah menjadi satu bagian kebudayaan populer yang memproduksi dan merepresentasikan nilai, keyakinan, dan bahkan ideologi. Menariknya, iklan televisi kemudian tidak luput dari perannya sebagai arena komodifikasi, dimana pesan iklan bukan lagi sekadar menawarkan barang dan jasa, melainkan juga menjadi semacam alat untuk menanamkan makna simbolik.
Terdapat banyak nilai yang dikomodifikasikan televisi melalui tayangan iklan. Nilai tentang tubuh ideal misalnya, kerap dijumpai dalam iklan kosmetik, makanan dan minuman suplemen, alat kesehatan dan sebagainya. Iklan-iklan tersebut cenderung memaksakan konsep tentang performa tubuh ideal. Simaklah secara seksama iklan sabun, shampo, makanan dan minuman suplemen; semuanya mengisyaratkan kontur tubuh ideal untuk laki-laki dan perempuan. Dalam konteks ini menarik untuk menyimak kesimpulan yang disajikan Idi Subandi Ibrahim (2007: 45-70) bahwa konstruksi tubuh ideal dapat dikelompokkan setidaknya ke dalam dua wilayah yakni aura ”cewek kece” dan ”cowok macho”.
Dalam ranah komodifikasi tubuh tersebut, nilai-nilai ”kecantikan” versi iklan televisi seringkali merupakan citra yang dipaksakan ke khalayak tanpa menyadari betapa bisa bersalahnya konsep tersebut. Alhasil, citra kecantikan yang mempunyai akar budaya di setiap daerah direduksi ke dalam representasi yang terbatas pada sedikit sisi. Maka menjadi lumrah jika dalam iklan masa kini, citra utama perempuan cantik senantiasa bertubuh langsing, berkulit putih, berambut lurus dan sebagainya. Mungkin terdapat semacam rasisme tersembunyi atas pencitraan perempuan, sebab tidak semua orang punya terlahir sebagai berkulit putih, setidaknya tidak semua perempuan berbakat putih, berpostur langsing, berambut lurus dan sebagainya. Bukankah orang Melayu punya konsep tersendiri tentang ”cantik” dengan atribut ”rambut bak mayang terurai”? Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, rambut yang cantik disebut dengan istilah ”kembang bakung” atau ”ngandhan-andhan” alias tidak lurus dan tidak keriting. Terhadap laki-laki, hampir dapat disimpulkan bahwa nilai kejantanan alias ”machoism” telah menjadi imajinasi tersendiri, sehingga laki-laki jantan dalam iklan senantiasa digambarkan dengan postur kekar dan berotot, sekaligus memiliki daya pikat seksual tinggi.
Sebagai bagian dari budaya populer, iklan telah menjadi perangkat ampuh untuk mempopulerkan standar baru tentang nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Iklan merepresentasikan citra ideal tentang tubuh laki-laki dan perempuan sehingga secara tak langsung televisi sebagai penyiar iklan menjadi pihak yang bertanggung jawab atas mediasi budaya pemujaan tubuh (fetishism of body). Dalam konteks ini pula kecenderungan merebaknya pencitraan tubuh ideal yang relatif seragam atas laki-laki atau perempuan telah mengubah tubuh ideal itu sendiri menjadi mitos. Media (iklan televisi) membangun sebuah imaji ideal, yang tidak senantiasa sama dengan mitos terdahulu tentang ”kekecean” maupun ”kemachoan”. Persoalan mitos maupun mitologisasi itulah yang kemudian penting dan hendak diangkat dalam tulisan ini.
Iklan Televisi Sebagai Praktik Pertandaan
Dalam lingkungan kebudayaan populer, iklan dan televisi merupakan kekuatan mutualistik yang tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi, televisi memerlukan sumber dana demi menjaga eksistensinya, dan di sisi lain produsen memerlukan televisi untuk mempromosikan produknya. Bertemunya masing-masing kebutuhan tersebut menjadikan iklan menjadi mediasi yang lumrah di setiap stasiun televisi. Dalam lingkup komunikasi massa, iklan televisi bahkan menjadi sebentuk propaganda yang menyenangkan karena kehadirannya tidak saja menginformasikan melainkan juga bersifat menghibur.
Iklan di televisi juga memiliki kelebihan unik dibandingkan dengan iklan di media cetak. Kelebihan iklan televisi memungkinkan diterimanya tiga kekuatan generator makna sekaligus, yakni narasi, suara dan visual. Ketiganya berkelindan membentuk sebuah sistem pertandaan yang bekerja untuk mempengaruhi penontonnya. Dari ketiganya, iklan televisi bekerja efektif karena menghadirkan pesan dalam bentuk verbal dan nonverbal sekaligus. Sebagai sistem pertandaan, maka iklan sekaligus menjadi sebuah bangunan representasi. Iklan tidak semata-mata merefleksikan realitas tentang manfaat produk yang ditawarkan, namun seringkali menjadi representasi gagasan yang terpendam di balik penciptanya. Persoalan representasi ini yang kemudian lebih menarik, karena di dalam iklan sebuah makna sosiokultural dikonstruksi.
Tampilan iklan di televisi senantiasa melibatkan tanda dan kode. Setiap bagian iklan pun menjadi ”tanda” atau signs, yang secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna (Thwaites et al., 2002: 9). Tanda berfungsi mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) serangkaian konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan seorang penonton untuk men-decode atau menginterpretasikan maknanya. Jika tanda adalah material atau tindakan yang menunjuk sesuatu, kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan menentukan bagaimana tanda dihubungkan dengan yang lain. Dalam iklan kode-kode yang secara jelas dapat dibaca adalah bahasa berupa narasi atau unsur tekstual, audio, dan audiovisual. Ketiganya masih dapat dipecah lagi ke dalam anasir-anasir yang lebih kecil dan lebih subtle.
Sebagai bagian dari komunikasi massa, kehadiran iklan di ranah televisi secara sederhana dapat ditengarai sebagai “interaksi sosial melalui pesan”. Secara epistemologis, penggalian makna yang melibatkan perhatian pada sistem pertandaan merefleksikan pendekatan terakhir dari dua aliran utama dalam analisis media, yakni aliran proses dan aliran semiotika (Fiske, 1990: 1). Pada aliran pertama, basis pengertiannya cenderung linear, sehingga komunikasi sering digambarkan sebagai ’proses pengiriman dan penerimaan pesan’. Aliran proses memberi perhatian utama pada bagaimana source atau sender mentransmisikan pesan kepada receiver melalui channel. Model Laswellian seringkali menjadi rujukan utama (rumus SMCRE: Source à Messages à Channel à Receiver à Effect) untuk menggambarkan bagaimana komunikasi berlangsung.
Dalam aliran proses, efisiensi dan akurasi seringkali mendapat perhatian penting, sehingga ketika efektivitas komunikasi dinilai kurang atau gagal maka pemeriksaan akan segera dilakukan pada elemen-elemen proses itu untuk menemukan letak kegagalan dan kemudian memperbaikinya. Bagaimanapun, pendekatan proses memperlihatkan komunikasi secara mekanis. Komunikasi dilihat secara sederhana sebagai sebuah model linear yang dapat dilucuti satu persatu unsur-unsurnya tanpa terlalu memperhitungkan bagaimana mementingkan konstruksi makna-makna yang bersifat subyektif.
Berbeda halnya dengan pendekatan proses, pendekatan semiotika memandang komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna (productions and exchange of meaning). Pandangan ini memperhatikan bagaimana pesan berhubungan dengan penerimanya untuk memproduksi makna. Jika aliran proses memperlihatkan penguasaan makna pada sumber atau pengirim pesan, aliran semiotik justru membalik peran penguasaan makna kepada penerima pesan. Penerima pesan mempunyai otoritas mutlak untuk menentukan makna-makna yang ia terima dari pesan, sehingga peran source atau sender cenderung terabaikan. Demikian juga, apa yang disebut sebagai pesan (message) pada paradigma ini lebih tepat disebut sebagai ”teks” yang berarti jalinan. Dalam paradigma semiotik, jangkauan pemaknaan teks akan sangat tergantung pada pengalaman budaya dari receiver, yang posisinya berubah menjadi aktif dan akan lebih tepat jika disebut sebagai ”pembaca” (reader).
Tradisi semiotika tidak pernah mengandaikan terjadinya salah pemaknaan, karena setiap ‘pembaca’ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca. Dengan demikian istilah kegagalan komunikasi (communication failure) tidak pernah berlaku dalam tradisi ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya pembacanya. Pada saat iklan telah tersaji ke ruang publik, maka iklan akan memproduksi makna, dan pencipta tanda-tanda dalam iklan tidak lagi memiliki otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki. Peran pemaknaan pun berpindah ke tangan pembaca.
Terobosan penting pada semiotika adalah diterimanya penerapan konsep-konsep linguistik ke dalam fenomena lain yang bukan hanya bahasa tertulis; yang dalam pendekatan ini lantas diandaikan sebagai teks pula. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan produk media, seluruh tampilan media baik dalam bentuk tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks. Maka, seorang penonton iklan televisi yang ingin menghadirkan konstruksi makna tontonan televisi perlu memperlakukan keseluruhan unsur dalam iklan tersebut sebagai teks sekaligus mempertautkannya dengan fenomena sosial yang kontekstual. Teks dan konteks merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Pendekatan semiotik mempercayai bahwa terlalu naif untuk mempertentangkan teks dan konteks, bahkan konteks pun di dalam teorisasi semiotika lantas diandaikan sebagai teks (Hodge dan Kress, 1988: 8). Sebuah jalinan makna dibangun dengan penuh kesadaran atas hasil dari relasi antarteks alias intertekstualitas.
Satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam pendekatan semiotika adalah pentingnya peran bahasa. Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna (pembaca) melalui bahasa. Representasi merupakan hubungan antara tanda konsep-konsep yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang seperti itu, Stuart Hall (1997: 17) memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa. Mental representations bersifat subyektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Salah seorang founding fathers semiologi, Ferdinand de Saussure, menyatakan bahasa sebagai sistem tanda yang mengekspresikan gagasan-gagasan: “Language is a system of signs that express ideas, and is therefore comparable to a system of writing, the alphabet of deaf – mutes, symbolic rites, polite formulas, military signals, etc. but is the most important of all these systems” (Berger, 1982: 16).
Dalam relasi antara pengiklan dan penonton alias pembaca iklan, mula-mula harus dimaklumi bahwa kreator iklan adalah subyek yang mempunyai mental representation tersendiri yang tidak selalu sama dengan pembacanya. Adanya keniscayaan subyektif dari bahasa iklan tidak urung menyajikan kerumitan tersendiri seperti seperti halnya adanya bias kepentingan dari penciptanya. Lebih lanjut, disadari atau tidak persoalan kepentingan ini seringkali mewakili gambaran ideologis dari pelaku representasi alis media. Lagi-lagi gambaran ini bersifat subyektif, artinya proses pembacaan terhadap iklan sama artinya dengan negosiasi antara mental representation pelaku representasi dan mental representation “pembaca” iklan. Dengan demikian diskusi mengenai bagaimana makna dari representasi atau teks media pada dasarnya merupakan pelacakan terhadap mental representation yang terkandung dalam produsen iklan dan bahkan media itu sendiri.
Menilik sejarahnya, tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, sehingga kendati keduanya sering disebut mempunyai kemiripan gagasan, penerapan konsep-konsep dari masing-masing keduanya seringkali mempunyai perbedaan penting. Barangkali karena keduanya berangkat dari disiplin yang berbeda; Peirce adalah seorang guru besar filsafat dan logika, sementara Saussure adalah seorang ahli linguistik asal Swiss (Aart van Zoest dalam Sujiman dan van Zoest: 1991: 1). Istilah semiotika sendiri diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure menamai pemikirannya dengan istilah semiologi. Dalam praktik analisis kedua istilah itu seringkali dipertukarkan tanpa membedakan artinya. Sejauh ini, perbedaan penggunaan kedua istilah tersebut hanya untuk menunjukkan mahzab yang dianut, meski untuk era sekarang barangkali sudah tidak jelas lagi model mana yang dijadikan sandaran karena acapkali konsep-konsep dari kedua tokoh itu terlanjur dipakai bersama.
Pusat perhatian semiotika pada kajian komunikasi massa (dimana iklan tertambat di dalamnya) adalah menggali apa yang tersembunyi di balik praktik pertandaan. Saussure mendefinisikan semiotika sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial (Piliang: 2003: 256). Oleh Saussure, semiotika kemudian dielaborasi sebagai hubungan tripartit yakni tanda (sign) yang merupakan gabungan dari penanda (signifier) dan petanda (signified) (Fiske dan Hartley, 1996: 23). Penanda mewakili elemen bentuk atau isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagaimana layaknya dua bidang pada sekeping mata uang. Kesatuan antara penanda dan petanda itulah yang disebut sebagai tanda. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa.
‘Tanda’ dan ‘hubungan’ kemudian menjadi kata-kata kunci dalam analisis semiotika. Bahasa dilucuti strukturnya dan dianalisis dengan cara mempertalikan penggunaannya beserta latar belakang penggunaaan bahasa itu. Usaha-usaha menggali makna teks harus dihubungkan dengan aspek-aspek lain di luar bahasa itu sendiri atau sering juga disebut sebagai konteks. Teks dan konteks menjadi dua konsep yang tak terpisahkan, keduanya berkelindan membentuk makna. Konteks menjadi penting dalam interpretasi, yang keberadaannya dapat dipilah menjadi dua, yakni intratekstualitas dan intertekstualitas. Intratekstualitas menunjuk pada tanda-tanda lain dalam teks, sehingga produksi makna bergantung pada bagaimana hubungan antartanda dalam sebuah teks. Sementara intertekstualitas menunjuk pada hubungan antarteks alias teks yang satu dengan ”teks” yang lain. Makna seringkali tidak dapat dipahami kecuali dengan menjalin pemahaman antarteks, antara teks tertulis dengan jenis teks lain yang tidak mesti tertulis (konteks).
Pengkajian tentang konteks dalam pemaknaan merupakan sebuah kerja menarik. Bukan saja karena dimensi kontekstual yang berbeda akan melahirkan makna yang berbeda; melainkan juga bahwa sebuah analisis semiotika akan mampu menggali “realitas lain” yang sifatnya subtle dari iklan yang dibaca. Realitas lain itu dapat berarti sebagai seperangkat gagasan tersembunyi, nilai, maupun keyakinan tersembunyi di balik tayangan iklan. Pada tingkat ini, semiotika seringkali ditunjuk sebagai model awal dari analisis yang mampu menampilkan bekerjanya ideologi dalam teks.
Teks dan Representasi: Iklan Televisi Sebagai Perangkat Ideologis
Dalam kebudayaan kontemporer yang dipenuhi oleh aneka citraan media, ideologi ibarat spektrum yang melintas batas ruang dan waktu. Bahkan van Zoest menyatakan bahwa “ideologi dan mitologi di dalam hidup kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita” (Sobur, 2006: 208). Setiap penggunaan teks, penanganan bahasa, perilaku semiosis alias penggunaan tanda umumnya timbul berkat suatu ideologi yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda. “Membaca” iklan televisi, dengan demikian tidak ubahnya membongkar praktik ideologis yang bekerja secara manipulatif di dalam sebuah situasi sosial tertentu.
Terdapat banyak varian pengertian ideologi, yang pada awalnya secara singkat menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok. Ideologi bekerja melalui sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana seseorang menggambarkan dunia atau lingkungannya. Dalam diskusi mengenai aspek-aspek kebudayaan populer, varian ideologi mula-mula dikembangkan dari gagasan Marxisme klasik yang menggambarkannya sebagai kesadaran palsu (false conciousness) yang diabadikan oleh kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat (Littlejohn, 1996: 228). Dalam mengkaji ragam iklan televisi, terdapat cukup banyak sejumlah iklan yang merekomendasikan makna-makna laten atas pemihakan pesan iklan kepada sekelompok kelas yang berkuasa. Kelas yang dimaksud bisa bermain dalam konteks politik (negara versus masyarakat sipil), gender (pemihakan terhadap dominasi laki-laki versus perempuan) dan sebagainya.
Pengertian lain dapat pula diambil dari post-Marxisme yang menjadi cikal bakal mahzab Frankfurt maupun teori kritis. Teoritisi kritis kontemporer cenderung percaya bahwa sekarang ini tidak lagi terdapat ideologi tunggal yang bermain dalam masyarakat. Ideologi masa kini bukan sesuatu yang rigit dan perlu diperjuangkan secara heroik sehingga terpisah dari sistem sosial masyarakat. Dalam pandangan terori kritis, ideologi justru melekat dalam seluruh proses sosial dan kultural, dan bahasa menjadi ciri terpenting bagi bekerjanya sebuah ideologi. Ideologi bergerak melalui bahasa, sehingga apa yang tampak dari struktur bahasa diandaikan sebagai struktur dari masyarakat yang mewadahi sebuah idelogi tertentu. Dalam perkembangannya, teori Marxis banyak terpengaruh oleh tradisi stukturalisme yang menampilkan penggunaan bahasa dalam memahami bangunan realitas sosial sera relasi ideologi dan wacana kekuasaan yang melatarbelakangi penggunaan bahasa.
Ambillah misalnya pendapat seorang penganut Marxis terkenal, Louis Althusser, yang menyatakan bahwa ideologi tampil dalam struktur masyarakat dan timbul dalam praktik nyata yang dilakukan oleh beragam institusi dalam masyarakat (Littlejohn: 1996: 29). Pemikiran Althusser ini mendapat pengaruh kuat dari strukturalisme, terutama atas pandangan yang mengatakan bahwa esensi ideologi dapat ditengarai melalui struktur bahasa. Ideologi bermain di belakang penetapan representasi. Pemaknaan ideologis dimulai dengan memahami bagaimana bekerjanya sistem bahasa dalam struktur sosial. Kombinasi dan disposisi menjadi istilah kunci untuk mengurai sejauh mana ideologi bermain dalam bahasa, sehingga menengarainya maka sebuah parktik pertandaan (representasi) harus dibongkar terlebih dahulu strukturnya. Singkatnya, makna dipertalikan melalui keberadaan struktur sosial yang melandasi penggunaan struktur bahasa.
Tentu saja tak ada yang benar-benar obyektif di sini, tidak serta merta dikatakan bahwa pembongkaran terhadap struktur bahasa beserta temuan ideologi dalam bahasa merupakan jaminan terhadap kepastian akhir suatu ideologi. Berubahnya struktur boleh jadi akan mengubah makna ideologis, karena dalam term Althuserrian ideologi ditentukan oleh strukturnya (Takwin, 1999). Sehingga ideologi merupakan realitas subyektif yang hadir di masyarakat, lentur, cair dan siap berubah. Ideologi hadir dalam tiap orang sebagai sesuatu yang sifatnya halus dan seringkali tidak disadari. Berbeda dengan Marx yang mengatakan ideologi sebagai kesadaran palsu (false conciousness), Althusser justru memaknai ideologi sebagai ”ketidaksadaran yang begitu mendalam” (profoundly unconciousness) yang praktiknya dalam diri manusia berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh, Althusser melihat bahwa ideologi seringkali disebarkan oleh dua jenis kekuatan pokok dalam struktur masyarakat yang disebutnya sebagai ISA (Ideological State Apparatus) dan RSA (Repressive State Apparatus). Melalui gagasannya ini Althusser hendak mengatakan bahwa seluruh lembaga sosial dan politik memiliki andil dalam penyebaran ideologi. Berbeda dengan RSA yang bekerja pada wilayah publik, Althusser (dalam Storey: 1994: 151) menyatakan ISA bekerja pada wilayah privat dimana media massa termasuk di dalamnya. Melalui Althusser, kajian semiotika struktural dapat dikembangkan lebih lanjut untuk melihat pada bekerjanya ideologi dan hubungan kekuasaan antarstruktur masyarakat.
Varian ideologi lain yang tidak kalah penting datang dari penganut Marx asal Italia, Antonio Gramsci, yang menyebut ideologi sebagai hegemoni. Hegemoni dapat disimpulkan sebagai upaya pemenangan yang terus-menerus (winning and rewinning) konsensus secara tetap bagi mayoritas bagi sistem yang berada di bawahnya. Gramsci sendiri memandang bahwa masyarakat terdiri atas dua struktur utama, yakni kelas dominan dan kelas subordinat. Kelas dominan dinyatakannya sebagai kelas yang mempengaruhi dan mendominasi masyarakat melalui sistem makna yang terus-menerus disampaikan. Cara melancarkan teknik dominasi seringkali dilakukan dengan menunjuk “sesuatu” sebagai musuh bersama baik dalam bentuk konkret maupun abstrak (Gramsci dalam Storey: 1994: 215). Konsep tentang “musuh” dan kawan atau sekutu di dalam hegemoni merupakan kerja ideologis, karena dia ditetapkan oleh kelas yang berkuasa melalui konsensus.
Dalam kaitannya dengan kerja media, media merupakan alat untuk memperjuangkan konsensus agar sesuai benar dengan keinginan penguasa di dalam menentukan siapa musuh dan siapa sekutu, apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Perspektif Gramscian melihat bahwa untuk melanggengkan dominasi ideologis, kelompok berkuasa menggunakan tindak kekerasan dan kekuatan intelektual. Hegemoni memerlukan seperangkat kerja intelektual sebagai alat untuk melumpuhkan kesadaran kritis masyarakat. Dalam konteks komunikasi ideologi, media adalah salah satu instrumen yang digunakan oleh kelas yang berkuasa untuk memaksakan ideologinya. Dengan konsep hegemoni ini, media dapat digunakan sebagai salah satu pembentuk opini bersama yang akan menguntungkan kelas berkuasa.
Dalam rangka meraih opini publik yang akan memenangkan kelas berkuasa, diperlukan permainan simbol media lengkap dengan “teks”-nya. Kendati demikian, dalam situasi masyarakat kontemporer yang dicirikan dengan budaya populer dan budaya konsumer, permainan makna itu tidaklah berlangsung stabil. Senantiasa terdapat proses resistensi untuk menggugat dominasi ideologi. Di tengah situasi tersebut, media massa seringkali mengeksklusikan “politik tandingan” dengan wajah yang tidak tunggal. Media menjelma sebagai kekuatan oportunis yang melayani ideologi dominan di dalam aktivitas mediasi.
Mengambil pengertian Gramsci, Gitlin (dalam Shoemaker & Reese, 1996: 237) menyatakan bahwa hegemoni berlangsung melalui “keahlian sistematik untuk menegakkan ‘aturan’ melalui persetujuan massa”. Aturan yang dimaksud sangat bermakna ideologis, karena di dalamnya terkandung sebuah konsep abstrak plus keyakinan palsu yang terus menerus disajikan media. Bekerjanya hegemoni, secara kasar acapkali memang terlihat demokratis, karena melibatkan persetujuan antara kelas dominan dan kelas yang dikuasai. Namun demikian, jika dicermati lebih dalam, keterlibatan media yang begitu gencar dalam merumuskan kesadaran bersama tentang dunia tidaklah murni untuk meraih kesepakatan bersama, melainkan sekadar artikulasi kelas hegemonik. Perspektif Gramscian meyakini bahwa televisi berupaya untuk merekayasa sebuah tatanan yang mapan, televisi mempengaruhi publik / khalayak penonton untuk menerima sebuah pola-pola baku atas keyakinan dan perilaku. Kekuatan media bersifat produktif, dalam arti bahwa media memproduksi identitas, model peran, idealisme, agenda, dan memfilter setiap gagasan oposisional serta membuat batas atas wacana-wacana yang hendak ditampilkan (Kellner, 1990: 18).
Satu hal penting yang perlu dicatat di sini adalah tidak ada jalur tunggal di dalam membedah teks untuk mengetahui makna-makna laten beserta ideologinya. Sebagai pisau analisis, pembongkaran makna-makna ideologis iklan televisi dapat dipergunakan dengan melibatkan ketiga varian ideologi di atas atau menambahnya dengan pemikiran ideologi dari tokoh lain. Ketiganya acapkali digunakan secara bersamaan untuk menggambarkan betapa media memiliki seperangkat kerja ideologis yakni sebagai penanam kesadaran palsu tentang imaji masyarakat atau kelas sosial, atau bisa dikatakan sebagai penganjur ketidaksadaran yang begitu mendalam. Pada titik final, media melalui tayangannya merupakan agen hegemoni dari kelas-kelas dominan di masyarakat. Sekadar contoh, Mark Poster (1990: 50-59), dalam analisisnya terhadap sejumlah iklan televisi (iklan ARCO, Lears dan Fox), menggunakan sudut pandang yang diadopsi dari teori-teori ideologi Marx, Althusser, Gramsci serta pemikir kontemporer Jean Baudrillard.
Mitos dalam Tayangan Iklan (Televisi): Roland Barthes dan Ideologi
Perspektif kritis media berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan struktur sosial. Ragam analisis kritis umumnya menguji kandungan-kandungan makna ideologis media melalui pembongkaran terhadap isi media atau ”teks”. Untuk dapat membongkar sebuah makna ideologis dari praktik pertandaan, diperlukan prinsip-prinsip intratektualitas dan intertekstualitas. Dimulai dengan analisis bersifat teknis (kode-kode verbal dan nonverbal dalam iklan), kajian semiotika senantiasa menghubungkan isi teks dengan ”teks” lain berupa isi media lain dan bahkan fenomena sosiokultural masyarakat yang lebih luas.
Salah satu kultivasi ideologi dalam iklan televisi berlangsung melalui representasi mitos. Dalam tayangan iklan, akan terlihat bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Makna yang dihasilkan oleh penanda konotasi seringkali menghadirkan mitos. Mitos bekerja menaturalisasikan segala sesuatu yang ada dalam kehidupan manusia, sehingga imaji yang muncul terasa biasa saja dan tidak mengandung persoalan. Pada tingkat ini, mitos sesungguhnya mulai meninggalkan jejak ideologis, karena belum tentu ”sesuatu” yang tampil alamiah lantas bisa diterima begitu saja tanpa perlu dipertanyakan kembali derajat kebenarannya.
Oleh sebab itu, mitos tidak berarti menjadi penanda yang sama sekali netral, melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Meskipun, tidak bisa dikatakan juga bahwa kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah sehingga ‘mitos’ lantas diperlawankan dengan ‘kebenaran’. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Melalui mitos, sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain (Tolson, 1996: 7). Maka kebenaran mitos menjadi sangat relatif, belum tentu sebuah mitos yang beredar sekarang ini dapat diterima pada saat yang lain maupun di tempat lain.
Dalam mengkaji mitos di dunia media dan budaya populer, perspektif semiotika struktural tidak akan pernah menampik gagasan-gagasan yang dikeluarkan oleh pemikir strukturalis Perancis, Roland Barthes. Bisa dikatakan, Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos. Barthes melakukan terobosan penting dalam tradisi semiotika konvensional yang dahulu pernah berhenti pada kajian tentang bahasa. Semiotika a la Barthes memungkinkan kajian semiotika mampu menjangkau wilayah kebudayaan lain yang terkait dengan popular culture dan media massa. Bahkan dalam pandangan George Ritzer, Barthes adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada semua area kehidupan sosial (Ritzer, 2003: 53).
Menurut Barthes (Bignell, 1997: 16) pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi konotatif itulah yang menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak senantiasa menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tradisional, legenda dan sebagainya. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah cara pemaknaan, dan ia menyatakan mitos secara lebih spesifik sebagai jenis pewacanaan atau tipe wicara (Barthes, 2004: 152; Barthes dalam Storey, 1994: 107). Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Maka suatu mitos dapat menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.
Pemikiran Barthes tentang mitos di satu sisi masih melanjutkan pengandaian Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Semiotika yang dibangun Saussure cenderung mengatakan makna sebagai apa yang didenotasikan oleh tanda. Maka tradisi semiotika pada awal kemunculannya cenderung berhenti sebatas pada makna-makna denotatif alias semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes, terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih mendalam, yakni pada level konotasi. Pada tingkat inilah warisan pemikiran Saussure dikembangkaln oleh Barthes dengan membongkar praktik pertandaan di tingkat konotasi tanda. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Skema pemaknaan mitos itu oleh Barthes digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1:
1. Penanda
2. Petanda
3. Tanda
I. PENANDA
II. PETANDA
III. TANDA
Sumber: Roland Barthes (dalam Storey: 1994: 110)
Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif (Manneke Budiman, dalam Christomy dan Yuwono, 2004: 255). Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.
Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Beberapa tanda boleh jadi secara berkelompok membentuk sebuah konotator tunggal. Dalam iklan televisi, susunan tanda-tanda verbal nonverbal dapat menutupi pesan yang ditunjukkan. Citra yang terbangun di dalamnya meninggalkan ‘pesan lain’, yakni sesuatu yang berada di bawah citra kasar alias penanda konotasinya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Dapat dikatakan bahwa ideologi adalah suatu form penanda-penanda konotasi, sementara tampilan iklan melalui ungkapan atau gaya verbal, nonverbal dan visualisasinya merupakan elemen bentuk (form) dari konotator-konotator. Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Secara semiotis, ideologi merupakan penggunaan makna-makna konotasi tersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga.
Dalam realitas yang termediasi, banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang dalam bahasa Barthes disebut sebagai ‘adibahasa’ atau meta-language (Strinati, 1995: 113). Penanda konotatif menyodorkan makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya (Budiman, dalam Christomy dan Yuwono, 2004: 255). Dibukanya medan pemaknaan konotatif dalam kajian semiotika memungkinkan “pembaca” iklan memaknai bahasa metaforik atau majazi yang maknanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Berbeda dengan level denotasi yang tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi, level konotasi menyediakan ruang bagi berlangsungnya motivasi makna ideologis.
Barthes (dalam John Storey 1994: 107), menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi juga, karena di balik mitos terselip sebuah pesan dari wilayah lain. Mitos menjadi sebuah modus pertandaan yang dibawa ke dalam wacana. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya direpresentasikan. Dalam iklan, pembaca dapat memaknai mitos ini melalui konotasi yang dimainkan oleh kesan visual, narasi, konflik, tuturan dan sebagainya. ”Pembaca” yang jeli dapat menemukan adanya asosiasi-asosiasi terhadap ‘apa’ dan ‘siapa’ yang sedang dibicarakan sehingga terjadi pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya.
Teori Barthes tentang ideologi di balik mitos memungkinkan seorang ”pembaca” atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna tersandung pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di sana, sehingga penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam representasi (Berger, 1982: 30). Sementara secara diakronik analisis Barthes memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitologis digunakan. Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa lampau yang sudah jauh dari dunia pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos kemarin sore yang akan menjadi “founding prospective history” (Sunardi, 2004: 116). Media seringkali berperilaku seperti itu, mereka merepresentasikan, kalau bukan malah menciptakan mitos-mitos baru yang kini hadir di tengah masyarakat. Untuk yang terakhir ini, dapatlah dikatakan bahwa media melakukan proses mitologisasi. Kehidupan kita sehari-hari digambarkan dalam cara yang penuh makna dan dibuat sebuah pemahaman generik bahwa memang begitulah seharusnya dunia. Iklan televisi yang dijejalkan ke ruang pandang masyarakat sehari-hari merupakan dunia kecil yang menjadi ikon dari sebuah raksasa makna: mitos dan ideologi di baliknya.
Dalam pemikiran ideologi, Barthes seringkali bersinggungan dengan Althusser, dan keduanya memang terlihat saling melengkapi; karena Barthes ternyata adalah salah seorang mahasiswa Althusser. Kedua orang yang berbeda generasi itu mempunyai minat yang sama: ideologi (Sunardi, 2004: 126). Baik Althusser maupun Barthes sepakat bahwa ideologi menjadi tempat di mana orang mengalami subyektivitasnya. Hanya saja, Barthes telah menerapkan teori subyektivitas yang berada di luar jangkauan analisis Althusser. Barthes dapat menjangkau teori subyektivitas melalui konsepnya tentang sistem mitis, dimana dia dapat menjelaskan konsepnya secara lebih skematik. Maka boleh jadi Barthes akan menjadi lebih akrab dengan kita karena apa yang diambilnya seringkali berasal dari dunia yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Makna ideologis menjadi konsumsi sehari-hari yang secara tidak sadar tertanam melalui ritual tontonan media. Poin ini yang membedakan pemikiran Barthes dengan Althusser, karena Althusser cenderung memancang paku analisis pada pemikiran Marxisme klasik untuk melihat hubungan antara negara dan masyarakat sipil. Sementara pemikiran Barthes tidak seperti itu, karena apa yang kita rasakan sehari-hari sebagai hal yang remeh-temeh ternyata memiliki implikasi maknawi yang mendalam.
Mengurai Mitos dalam Iklan Televisi: Sebuah Alternatif Semiotis
Secara filosofis, membedah iklan televisi secara semiotis boleh dikatakan merupakan proses penciptaan karya terjemahan: “pembaca” iklan menciptakan teks tersendiri di samping teks. Terhadap teks bahasa murni, Aart van Zoest (1993: 99), secara teknis menyajikan permulaan analisis terhadap teks dengan melihat satuan mikrostruktural dan berlanjut hingga ke tingkat makrostruktural. Pada akhirnya setiap teks akan menyajikan suatu kesatuan makrostruktural yang koherensinya dapat diinterpretasikan secara umum. Dalam konteks pembacaan terhadap iklan televisi, pemikiran van Zoest tersebut nampaknya dapat diterima manakala sebuah bangunan iklan dipandang sebagai sebuah kesatuan teks dengan anasirnya yang beragam sebagai sebuah argumen. Penelusuran kemungkinan argumen (itupun tidak mesti tunggal) merupakan kegiatan yang sangat penting bagi pembaca untuk dapat mengurai –setidaknya– makna luar atau gagasan dari pelaku representasi.
Dari sudut pandang semiotik-sentris, tujuan utama ”membaca” iklan televisi adalah menemukan makna terselubung (latent meaning) yang terkait dengan mitos dan muatan ideologi tertentu. Persoalannya, relativitas kebenaran makna dalam semiotika menyebabkan sebuah tanda dapat dimaknai beragam. Setiap tanda, dalam bahasa Barthes, memiliki sifat polisemy alias berpotensi multitafsir. Hal tersebut disebabkan oleh sifat ambigu dari penanda dan kemungkinan yang diberikan oleh penanda tersebut untuk diinterpretasikan (Gottdiener, 1995: 20). Oleh karenanya, kendati tidak ada prosedur teknis baku dalam kajian semiotika, seorang ”pembaca” –bukan sekadar penonton– perlu menstrukturkan iklan secara rapi dan konsisten. Rambu-rambu ini penting mengingat tidak terbatasnya tanda yang ada di dalamnya dapat menyebabkan seorang pembaca iklan tersesat dalam rimba tanda, yang menyebabkan proses penafsiran larut dalam problem unlimited semiosis.
Lantas prosedur pemaknaan seperti apa yang dapat dilakukan dengan metode semiotika? Prinsip mendasar yang harus dikedepankan ketika membedah iklan televisi adalah memperlakukan keseluruhan tanda-tanda di dalamnya seperti laiknya teks tertulis. Penstrukturan lazimnya dimulai dari lapisan terluar yang kemudian dilanjutkan pada lapisan yang lebih dalam, yang merupakan inti dari proses pemaknaan. Ibarat orang makan buah, pertama kali yang dilakukan adalah mengupas kulitnya baru kemudian menyantap buahnya. Memakan kulit dan buahnya sekaligus tentu tidak dilarang, tetapi cita rasanya pasti akan bubar. Bayangkan orang mengganyang sebutir jeruk atau pisang sekaligus, rasanya pasti tidak karuan, disamping menyalahi kelaziman.
Sebagai ilustrasi awal, John Fiske (1987: 5), mengajukan tiga level kode yang dapat dimaknai dalam menggali ideologi tayangan televisi dimana iklan termasuk di dalamnya. Level pertama adalah “realitas”, meliputi tampilan visual semacam penampilan, pakaian, make up, perilaku, pembicaraan, gesture, ekspresi, suara dan lain-lain. Level yang bersifat permukaan ini merupakan level kode yang bersifat teknis. Level kedua adalah “representasi” dimana penggunaan kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara. Anasir-anasir tersebut dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang dibangun seperti konflik, karakter, seting dan sebagainya. Level ketiga adalah level ideologi. Sebagai level terdalam, level ini merepresentasikan sejauh mana ideologi yang dibangun dalam sebuah tayangan iklan. Pembaca dapat menilai makna-makna tersembunyi di balik iklan televisi dengan menilai sejauh mana koherensinya dengan situasi sosial (konteks) yang dapat diterima dan masuk akal.
Alternatif lain untuk analisis iklan televisi dapat dilakukan melalui dua tahap pemaknaan, yakni secara sintagmatik dan paradigmatik. Analisis sintagmatik melihat teks sebagai sebuah rangkaian dari satuan waktu dan tata ruang yang membentuknya. Sintagma ibarat suatu rantai, sehingga analisis sintagmatik berupaya melihat teks sebagai rangkaian peristiwa yang membentuk sejumlah narratives atau cerita (Berger, 1982: 24). Dalam sebuah tuturan atau kalimat sederhana misalnya, makna membentang dari kiri ke kanan pada sebuah jalur linear. Sebuah sintagma merujuk pada hubungan in presentia antara satu kata dengan tanda-tanda lain atau suatu satuan gramatikal dengan satuan-satuan lain dalam teks pada sumbu horisontal. Makna yang dapat dihasilkan dari tingkat analisis ini baru sampai pada makna luar atau manifest meaning dari teks. Pembacaan sintagmatik memperlihatkan bagaimana relasi tanda dikomunikasikan melalui struktur tertentu berdasar kaitan waktu atau berada pada sumbu horisontal. Masing-masing unsur dalam struktur teks berkedudukan sejajar.
Untuk melukiskan relasi sintagmatik dalam iklan, dapat diadopsi satu tipe struktural yang diperkenalkan Barthes yakni anchorage (penambat) beserta tiga tipe struktural lain yang disajikan Andrew Tolson (1996: 28-43), yakni argument, montage, dan narrative. Ketiga tipe tersebut dapat dilibatkan bersama dan disesuaikan penggunaannya, khususnya dalam membaca bahasa iklan. Istilah anchorage awalnya diperkenalkan oleh Barthes untuk menunjuk penggunaan tanda verbal tertentu yang mempunyai peran sebagai penunjuk utama makna. Jika pada berita misalnya, judul berita dapat disebut sebagai anchorage, maka anchorage iklan menunjuk pesan utama yang dapat disimpulkan sebagai judul iklan. Pada teks iklan, anchorage mempunyai posisi yang paling berkuasa dalam relasinya dengan tanda-tanda lain yang muncul sehingga penggunaannya menjadi ‘kata terakhir’. Terdapat semacam hirarki tanda dalam teks, beberapa tanda lebih berarti dibandingkan yang lain. Sebagai kesatuan tanda verbal, anchorage mampu menciptakan pernyataan yang bersifat otoritatif, sementara tanda-tanda lain hanya sekadar memberikan dukungan atau keterangan.
Tipe sintagmatik berikutnya adalah argument. Suatu argumen boleh jadi diungkapkan dalam sebuah proposisi maupun serangkaian proposisi tentang sesuatu hal dan berupaya untuk membujuk atau meyakinkan pembaca (penonton) bahwa proposisi tersebut benar adanya. Sebagai gejala kejiwaan, proposisi merupakan isi konsep mental yang masih relatif kasar yang mewujud dalam statemen. Dari sudut pandang linguistik murni, proposisi merupakan perwujudan ekspresi dalam bentuk kalimat, yang bisa benar namun juga bisa salah (Aminudin, 1998: 51). Mengambil analogi pengertian tersebut, proposisi menjadi petunjuk penting untuk menggambarkan bagaimana tatanan tekstual mengkonfigurasi makna yang menjelaskan isi iklan televisi. Menurut van Zoest (dalam Sujiman dan Van Zoest, 1996: 91), keterpautan antarproposisi ini diatur oleh suatu ‘hukum’ yang tersirat, yakni jalinan logis yang bersama-sama membentuk argumen. Dengan istilah lain, proposisi dapat juga disebut sebagai ‘klaim’. Argumen yang disajikan melalui satu atau lebih proposisi mempunyai kemungkinan untuk didukung oleh dua unsur yaitu bukti (atau ‘data’) dan justifikasi (atau ‘garansi’).
Struktur sintagma sebuah argumen boleh jadi bersifat serial, yakni ketika satu proposisi mengikuti proposisi lain; tetapi dapat juga bersifat hirarkis di mana masing-masing proposisi selalu menyandarkan pada sejumlah pernyataan yang sifatnya mendukung proposisi utama. Acapkali, untuk memperoleh derajat kepercayaan yang baik, iklan televisi memunculkan statemen pendukung semisal testimoni. Soal kepercayaan terhadap statemen pendukung inipun kemudian dapat dipilah lagi menjadi dua, yakni kepercayaan yang bersifat empirik dan kepercayaan yang sifatnya konseptual. Kepercayaan empirik berhubungan dengan sejauh mana fakta-fakta yang direpresentasikan dalam iklan kemudian teruji kebenarannya, sementara kepercayaan konseptual berhubungan dengan masuk akalnya proposisi yang dibangun dalam kalimat-kalimat teks iklan.
Setelah argument, tipe sintagmatik berikutnya yang dapat dimaknai adalah montage, yakni praktik transformasi material (tanda-tanda verbal dan nonverbal) menjadi sebentuk komposisi visual dalam satu tayangan iklan. Montage melibatkan penggunaan dan perbandingan huruf, penampilan fokus kamera, penyuntingan visual dan sebagainya. Dalam keterkaitannya dengan argumen, montage berperan penting melakukan penjajaran (juxtaposition), yang berfungsi memberi penekanan akan persamaan konseptual dengan argumen. Kendati demikian, acapkali tanda-tanda dalam montage digunakan sekadar untuk memberi efek estetik belaka.
Tipe sintagmatik terakhir adalah narrative. Asalnya, tipe ini cocok untuk mengurai teks tertulis yang berhubungan dengan bagaimana teknik penceritaan berlangsung dalam iklan secara keseluruhan. Berbeda halnya dengan montage yang menekankan aspek komposisi, narrative berurusan dengan ‘penataan tanda-tanda, bukan dalam alur logis, melainkan pada susunan kronologisnya’ (Tolson, 1996: 39). Pengertian ini untuk menegaskan bahwa tanda-tanda kunci dalam narrative tidaklah mempunyai status sebagai proposisi, melainkan hanya sekadar ‘rangkaian peristiwa’ untuk mengembangkan klimaks cerita. Pada tingkat ini terdapat semacam kerja seni untuk menghasilkan ketertarikan pembaca atas rangkaian kronologis yang disusun oleh pencerita atau kreator iklan. Dalam iklan, unsur penceritaan dapat ditilik melalui ekspresi serta peranan subyek dalam cerita. Tinjauan terhadap aspek naratif ini secara singkat dapat dipilah dalam dua bagian penting yakni cerita (histoirie) dan wacana (discourse). Cerita adalah peristiwa-peristiwa yang terangkai secara temporal maupun kausal sehingga menjadi unsur ‘what’ dari naratif. Sementara wacana dalam konteks naratif adalah ekspresi atau sarana untuk mengkomunikasikan cerita kepada pembaca atau unsur ‘how’ dari pesan iklan secara keseluruhan.
Tahap pembongkaran makna ideologis dalam membaca iklan televisi sesungguhnya terletak pada level kedua, yakni level paradigmatik. Setiap tanda berada dalam kodenya sebagai bagian dari suatu paradigma; suatu relasi in absentia yang mengabaikan satu bagian tanda dalam iklan dengan dengan tanda-tanda lain. Lagi-lagi, jika dilihat dari sudut pandang tekstual, pola relasi ini dapat berlangsung berdasarkan prinsip-prinsip persamaan maupun perbedaan sebelum ia muncul dalam teks (Kris Budiman (1999: 89). Analisis iklan secara paradigmatik berusaha mengetahui makna terdalam dari teks, dan karenanya pembacaan ini lebih bersifat sinkronik. Sifat sinkronik tanda berarti bahwa makna yang dihasilkan mesti dilekatkan dengan konteks ”kesejarahan” yang tepat, sehingga pada tingkat ini penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan.
Mengambil analogi tekstual tersebut, maka iklan sebagai sebuah ”teks” tersendiri perlu dikaji secara sinkronik; yakni pembacaan terhadap pola tersembunyi melalui oposisi biner yang menjadi skema umum di balik representasi alias tayangan iklan yang ”dibaca” (Berger, 1982: 30). Pusat perhatian analisis paradigmatik menunjuk pada serangkaian tanda-tanda khusus yang menghubungkannya dengan motif representasi. Sementara motif itu sendiri akan terkait erat dengan serangkaian kepercayaan mendasar yang bersifat ideologis. Disamping memudahkan pembacaan, skema oposisi biner menyajikan petunjuk yang menarik untuk mengungkapkan bekerjanya kepercayaan atau ideologi pelaku representasi. Dalam konteks ini, menjadi menarik pula jika analisis paradigmatik dihubungkan dengan praktik mitologisasi nilai, sehingga konsep-konsep mitos semacam Barthes maupun ideologi para pemikir kritis layak untuk diadopsi untuk menyingkap mental representation dari sang kreator iklan.
Menerapkan analisis sintagmatik dan paradigmatik sekaligus dalam sebuah telaah semiotis boleh jadi menggiring ”pembaca” pada sebuah wilayah yang kabur dimana batas-batas sintagma dan paradigma tidak jelas benar. Dengan perspektif Barthesian, batas-batas tersebut akan semakin jelas manakala analisis paradigmatik memberatkan penilaian pada sejauh mana berfungsinya tanda-tanda konotatif dalam teks. Butir ini memegang peranan berharga untuk membantu produksi asosiasi makna ideologis dari iklan televisi. Konotasi tidak saja memberi tambahan atas makna dasarnya, lebih dari itu konotasi memberi indikasi akan motivasi dan sikap ‘sang pengarang’ (kreator iklan) atas representasi
Terdapat iklan yang menyajikan informasi secara dingin dan sekadar berisi pokok-pokok pesan yang sifatnya persuasif; namun tidak jarang terdapat iklan yang demikian argumentatif. Iklan yang argumentatif, di samping bernilai informatif juga mengandung daya pikat tertentu yang mengkonotasikan serangkaian nilai tersembunyi. Terdapat kepercayaan mendasar yang menjadi titik tolak presuposisi bagi tiap proses representasi iklan. Apa yang tersimpan di balik iklan seringkali membentuk imaji tentang dunia sehari-hari yang ideal, sehingga seakan-akan memang seperti itulah seharusnya yang terjadi. Kendati demikian titik tolak tersebut seringkali tetap tersembunyi, kemunculannya tersirat dan tidak selamanya bergerak teratur di dalam jalinan pesan-pesan iklan. Di balik setiap pilihan tanda verbal maupun audiovisual (paradigma) yang dirangkai menjadi sebuah tayangan iklan (sintagma), sadar atau tidak sadar mengikutsertakan gagasan maupun keyakinan tersembunyi pelaku representasi.
Apabila dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos, ini berarti bahwa suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam makna konotatif tanda. Kepercayaan tersebut boleh jadi dimunculkan secara sadar oleh pelaku representasi (pengiklan, pembuat iklan maupun media), namun boleh jadi juga secara tidak sadar muncul begitu saja sebagai bagian dari keseharian hidup yang alamiah. Dalam konteks ini, ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu praktik pertandaan (iklan televisi) tentu dilakukan secara sadar, namun dibarengi dengan ketidaksadaran tentang sebuah ”dunia lain” yang sifatnya lebih imaginer.
Sebagaimana halnya mitos, ideologi dalam representasi iklan tidak melulu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi; dan kehadirannya pun tidak mesti kontinyu. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat. Maka, menghubungkan pemikiran Barthes dengan varian teori ideologi menjadi sebuah kerja menarik. Berbeda dengan sains, kesadaran ideologis dalam term Barthes berada pada tingkat psikis, berupa imaji yang mengkonstruksi kesadaran yang sifatnya semu. Cara kerja ideologi ibarat camera obscura yang memutarbalikkan kenyataan sehingga masyarakat tidak menyadari kondisi susungguhnya yang melingkupi dirinya.
Penutup
Dari sudut pandang semiotika-sentris, ”membaca” iklan televisi mensyaratkan kecurigaan awal bahwa iklan televisi sering turut ambil bagian dalam representasi nilai-nilai tersembunyi yang menjadi basis ideologi tertentu. Ideologi yang turut serta dalam iklan pun tidak selamanya berwajah tunggal, datang silih berganti seiring beragamnya iklan yang melintas di setiap tontonan televisi. Permutasi tanda dari satu tempat ke tempat lain tak jarang bekerja secara acak, kadang timbul dan kadang pula tenggelam. Majemuknya makna-makna ideologis dalam iklan televisi boleh jadi setara dengan beragamnya citraan. Begitu rumitnya tanda-tanda dalam iklan sehingga senarai karakteristik sintagmatik dan peradigmatik dalam iklan tentu saja hanyalah dalam rangka menyederhanakan teknik analisis. Dengan demikian kesengajaan seorang “pembaca” mengudar makna-makna tayangan iklan sebagai “teks” dapat berlangsung secara relatif sistematik dan komprehensif.
Tentu saja, paparan di atas hanyalah sebuah alternatif tawaran untuk menjawab bagaimana cara membongkar iklan sebagai sebuah praktik pertandaan. Sebagai alternatif, perspektif semiotika menyediakan semacam jarum bagi mereka yang tertarik untuk merajut dunia simbolik televisi melalui iklan dan merangkainya menjadi sebuah bentangan makna yang luas. Kelemahan tentu saja ada, khususnya terkait dengan persoalan epistemologis. Jalur yang dipakai untuk menganalisis iklan televisi pada tulisan ini tidak menggunakan jalur tunggal; katakanlah menggunakan jalur yang murni Saussurean atau Barthesian. Demikian pula dengan analisis ideologi yang memang sangat dimungkinkan dengan perpektif ini, beragam teori ideologi dapat dimasukkan sebagai pancang analisis. Secara akademis, hal ini memberi keuntungan tersendiri; semiotika menyajikan cukup ruang bagi analisis iklan untuk melibatkan beragam teori ideologi sekaligus menjalinnya menjadi konstruksi propososi yang masuk akal dan dapat diterima.
*******
Daftar Pustaka
Aminudin. 1998. Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru.
Barthes, Roland. 2004. Mitologi (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Berger, Arthur Asa. 1982. Media Analysis Techniques, Sage Publications. California: Beverly Hills.
Bignell, Jonathan. 1997. Media Semiotics: An Introduction. Manchester University Press: Manchester and New York.
Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Kajian Televisi. Yogyakarta: Jalasutra.
Christomy, T., & Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Penerbit Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI.
Fiske, John. 1990. Introductions to Communication Studies. London: Routledge.
_________.1991. Television Culture. London: Routledge.
Fiske, John & John Hartley. 2003. Reading Television. London: Routledge.
Gottdiener, Mark. 1995. Postmodern Semiotics: Material Culture and The Forms of Postmodern Life. Massachusetts: Blackwell.
Hall, Stuart (Ed.). 1997. Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, London: Sage Publications.
Hodge, Robert dan Gunther Kress. 1988. Social Semiotics. London: Polity Press.
Ibrahim, Idi Subandi. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Kellner, Douglass. 1990. Television and The Crisis of Democracy. Boulder: Westview Press..
Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of Human Communication. California: Wardsworth.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Poster, Mark. 1990. The Mode of Informastion: Poststructuralism and Social Context. Cambridge: Polity Press.
Sujiman, Panuti, & Aart van Zoest (Ed.). 1991. Serba-serbi Semiotika, Jakarta: Gramedia.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern (penerj. Muhammad Taufiq), Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Shoemaker, Pamela J. & Stephen D. Reese. 1996. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. London: Longman.
Strinati, Dominic. 1995. An Introduction to Theories of Popular Culure. New York: Routledge.
Storey, John (Ed.). 1994. Cultural Theory and Cultural Culture: A Reader, New York: Harvester Heatsheaf.
Sunardi, St. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Buku Baik.
Takwin, Bagus. “Cuplikan-cuplikan Ideologi”, artikel Jurnal Filsafat Universitas Indonesia Volume I No. 2, Agustus 1999.
Thawaites, Tony. 2002. Lloyd Davis & Warwick Mules, Introducing Cultural and media Studies: A Semiotic Approach. New York: Palgrave.
Tolson, Andrew. 1993. Mediations: Text and Discourse ini Media Studies. London: Arnold.
van Zoest, Aart. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya, Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
*********
http://abunavis.wordpress.com/2008/05/29/%E2%80%9Dmembaca%E2%80%9D-iklan-televisi-sebuah-perspektif-semiotika/
No comments:
Post a Comment