Iklan dan Media Cetak di Era Kolonialisme

Advertisements are selling us something else besides consumers good:

in providing us with a structure in which we, and those goods,

are interchangeable, they are selling us ourselves…

--Judith Williamson (1978:13)





Kini kritik sosial yang menyengat dan mengendap dalam ingatan publik barangkali tak lagi berasal dari kalangan intelektual, demonstrasi mahasiswa atau suara dari partai oposisi, melainkan dari iklan produk rokok. Tak terlampau sulit bagi penonton televisi mengingat kritik sosial, mulai bencana banjir, ruwetnya birokrasi, komersialisasi pendidikan hingga buruknya layanan PLN, dari seri iklan rokok A-Mild yang disertai taglines “Tanya Kenapa?” Sebagaimana dituturkan Hendro Lesmono, mantan creative head Ogilvy Indonesia, yang menggarap iklan rokok A-Mild itu, “Kami tak ingin membuat bingung, tetapi ingin menunjukkan bangsa kita ini bangsa yang banyak masalah, berbelit-belit, terlalu mikir, dan bikin susah diri sendiri “ (Kompas, 6 Mei 2007). Siapa nyana keprihatinan terhadap persoalan bangsa ternyata bisa dikemas menjadi pesan yang mengampanyekan merek sebuah rokok.

Iklan, apa boleh buat, kini memang telah mengalami transformasi yang dahsyat. Ia tak lagi sekadar cara produser menyampaikan informasi produk, cara menawarkan produk atau merayu calon konsumen dengan kata-kata yang “penuh bunga-bunga.” Melainkan menjadi cara yang subtil untuk membangkitkan hasrat yang bersemayam di alam bawah sadar konsumen: keinginan cantik, popular, terkenal, bahagia dan seterusnya. Lebih dari itu, seperti ditulis oleh trio Leiss, Klein dan Jally dalam karya klasiknya Social Communication in Advertising ( London & New York: Routledge, 1990), “Iklan bukan sekadar urusan pembelanjaan yang dilakukan dengan harapan menguras barang-barang dari raknya di toko, melainkan bagian yang tak terpisahkan dari kultur modern. Kreasi iklan mengapropriasi dan mentransformasi pelbagai simbol dan gagasan; melampui kekuatan komunikasi dalam mendaur-ulang model-model dan acuan budaya melalui jaringan interaksi sosial. Semua itu dirangkum dalam diskursus tentang objek yang menenun citra, pribadi, produk dan hidup sejahtera.”

Tak mengherankan, iklan juga dihujani banyak kritik dari berbagai penjuru (Fowles, 1996). Salah satu kritik tajam terhadap iklan, misalnya, pernah disampaikan oleh Raymond Williams (1980: 191) yang menyatakan, “Iklan tak lagi semata-mata cara menjual barang, ia adalah bagian budaya masyarakat yang kebingungan (confused society).” Di bagian lain, Williams menambahkan, “Iklan merupakan konsekuensi dari kegagalan sosial untuk menemukan sarana informasi publik dan keputusan terhadap kehidupan ekonomi sehari-hari” (Williams, 1980: 193).

Tulisan ringkas ini hendak bertolak dari gagasan bahwa iklan tak bisa diceraikan dari kultur modern. Dalam konteks Indonesia, gagasan tentang kemodernan tak bisa dilepaskan dari sejarah kolonialisme. Dengan mengupas sejumlah iklan yang dimuat di majalah Kadjawen periode 1930-1940-- yang kini dieksibisikan dalam Pameran Iklan Koeno , Masa Laloe Selalu Aktual yang digelar oleh TeMBI Yogyakarta-- tulisan ini hendak melihat pertautan antara iklan, media cetak dan gagasan kemodernan yang diusung oleh rezim kolonial.


Media Cetak di Zaman Kolonial

Majalah Kadjawen terbit pertama kali pada 1923 dari penerbitan pemerintah kolonial Belanda Balai Poestaka yang memiliki hubungan erat dengan Het Kantoor voor Inlandsze Zaken (Kantor Urusan Bumiputra). Selain menerbitkan Kadjawen untuk pembaca berbahasa Jawa, Balai Poestaka juga menerbitkan Parahiangan untuk pembaca berbahasa Sunda dan Pandji Poestaka. Tiras dari majalah Kadjawen diperkirakan sekitar 1.500 eksemplar setiap kali terbit seperti halnya Pandji Poestaka. Sebagai bagian dari penerbitan kolonial, tak aneh, jika majalah Kadjawen memiliki kebijakan redaksional yang segaris dengan politik rezim kolonial dan memprogandakan hubungan yang harmonis antara pemerintah dan penguasa lokal. Majalah Kadjawen juga berisi berbagai informasi praktis, termasuk iklan produk yang mengampanyekan, cara-cara hidup modern bagi rakyat jajahan atau “kaum bumiputra.”

Sejumlah bahan bacaan (buku, koran atau majalah) yang tidak diterbitkan oleh Balai Poestaka pada masa itu dicap pemerintah kolonial sebagai “bacaan liar” yang dianggap membahayakan bagi masyarakat. Ini karena bacaan-bacaan itu bersuara kritis terhadap pemerintah kolonial dan mengusung gagasan nasionalisme yang pekat. Tak mengherankan karena para pengelola dan penulisnya adalah kaum nasionalis radikal. Misalnya, pada Kongres IV tahun 1924 di Batavia, PKI mendirikan Kommissi Batjaan Hoofdbestuur PKI. Komisi ini bertugas menerbitkan dan menyebarluaskan tulisan-tulisan serta terjemahan-terjemahan "literatuur socialisme"--istilah yang digunakan kaum pergerakan untuk menyebut bacaan-bacaan guna menentang terbitan dan penyebarluasan bacaan-bacaan kaoem modal. Semaoen adalah orang yang pertama kali memperkenalkan pengertian "literatuur socialistisch." Dengan kata lain, ”bacaan liar” sejatinya merupakan media organik atau partisan bagi kaum pergerakan untuk mendesiminasi gagasan nasionalisme pada massa rakyat.

Semula penerbitan yang dicap sebagai ”bacaan liar” tersebut tidak diniatkan untuk menantang terbitan Balai Poestaka, melainkan lebih untuk ”mendidik” rakyat. Sebelumnya, tak kurang tokoh pergerakan seperti Haji Agoes Salim pernah menulis di Balai Poestaka. Akan tetapi, bagi pengelola Balai Poestaka penerbitan ”bacaan liar” kian dilihat sebagai ancaman yang serius. Seperti pernah dinyatakan oleh pimpinan Balai Poestaka Dr. D.A. Rinkes, rakyat "harus dijauhkan [dari] bacaan yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri" (sebagaimana disitir Razif, n.d.). Bacaan-bacaan yang diklasifikasikan ”liar” itu antara lain, seperti Hikajat Kadiroen karya Semaoen yang terbit pertamakali di Sinar Hindia tahun 1920, dan diterbitkan kembali menjadi buku kecil oleh Drukkerij VSTP tahun 1921, Rasa Mardika karya Soemantri yang terbit tahun 1924, Matahariah yang ditulis Mas Marco tahun 1918 dan Apakah Maoenja Kaoem Kommunist? yang ditulis oleh Axan Zain dan diterbitkan oleh Kommissi Batjaan Hoofdbestuur PKI pada tahun 1925 (Razif, n.d.).



Beberapa tulisan yang dimuat dalam majalah Kadjawen lebih banyak berorientasi pada kejayaan Jawa di masa lampau (zaman Majapahit) ketimbang memaparkan kondisi nyata rakyat di tanah jajahan. Muatan semacam ini serupa dengan terbitan lain Balai Poestaka yang banyak menyoal tradisi (adat) yang hidup di kalangan bumi putera. Misalnya, roman Sitti Noerbaja (1922) karya Marah Roesli lebih menekankan pada perangai Datuk Maringgih yang hendak mengawini Siti Nurbaya ketimbang memberi perhatian pada sikap Datuk Maringgih yang menolak membayar pajak pada pemerintah kolonial. Demikian pula, sejumlah roman seperti Azab dan Sengsara Seorang Gadis (1920) karya Merari Siregar dan Muda Teruna (1922) karya Mohamad Kasim.


Konsumsi dalam Konstruksi Kolonialisme

Pendirian Balai Poestaka, seperti kita tahu, dilatarbelakangi oleh ”Politik Etis” yang hendak menyediakan bahan bacaan pagi kaum pribumi serta mempropagandakan kebijakan pemerintah kolonial. Tak mengherankan, jika banyak tulisan di majalah Kadjawen berisi hal-hal yang ringan dan praktis tentang cara meningkatkan kesejahteraan keluarga. Begitu pula, iklan yang bertaburan di majalah ini agaknya merupakan bagian dari proses pembentukan masyarakat konsumen di Hindia Belanda yang juga mulai memasuki sirkuit konsumsi produk-produk transnasional seperti, sabun mandi Lux, ban Good Year, pasti gigi Colgates, bubur Quaker Oats, mobil Chevrolet dan sebagainya.



Dalam iklan-iklan yang dimuat di majalah Kadjawen, konsumen dikonstruksikan sebagai subjek yang rasional dalam memilih dan mengkonsumsi berdasarkan ”nilai guna” (use value) yang melekat secara instrinsik pada produk. Simak, misalnya, dalam teks iklan bubur Quaker Oats, yang menggunakan aksara Jawa jika diterjemahkan berbunyi begini, ”Quaker Oats berisi banyak vitamin B, isi Quaker Oats dapat mencegah penyakit gugup, menyebabkan doyan makan.” Teks iklan itu disertai oleh rangkaian gambar (ilustrasi) dalam panel-panel yang mirip komik strip yang menerang-jelaskan perubahan seorang anak bernama Amat dari yang semula sakit-sakitan dan kurus menjadi gemuk dan aktif berolah raga. Hal yang senada, juga bisa kita temukan dalam teks iklan margarin Blue Band, ”Blue Band isi banyak vitamin A dan D. Karena vitamin-vitamin tadi, anak-anak lekas besar, badannya kuat dan segar.” Iklan Blue Band itu disertai dengan ilustrasi anak perempuan yang memegang lengan anak laki-laki dengan tulisan dengan huruf tebal terpampang di atasnya”kedua lengan kuat, otot seperti kawat karena tidak kekurangan vitamin” (lengen kalih kijat-kijat, otot kados kawat djalaran boten kekirangan vitamin).



Untuk menguatkan persuasinya sejumlah iklan di majalah Kadjawen menggunakan pengakuan (endorsement) dari mereka memiliki status sosial yang terhormat di masyarakat, misalnya guru. Taruhlah, iklan arloji merek Rubicon yang memuat surat dari Nona S.M. Onerwijzeres Openhare H.I.S. di K dan iklan obat mata Rohto yang menyertakan surat dari Noning R.DI seorang guru wanita di Abdaan Instituut Muaraenim (Palembang). Bahkan, sabun Lux memuat pernyataan Joan Crawford, bintang film tersohor Hollywood dari Studio Metro-Goldwyn Meyer (MGM): ” Belum pernah menemukan sabun lainnya yang mirip dengan Lux yang menyegarkan dan menghaluskan kulit saya.” Dengan kata lain, pengakuan-pengakuan itu digunakan untuk kian meyakinkan pada konsumen tentang kehebatan serta manfaat yang bisa dipetik dari produk yang diiklankan. Berbeda dengan iklan-iklan kontemporer yang mampu melampaui ranah simbolis maupun proses personalisasi produk pada konsumen serta memasuki dimensi gaya hidup, hampir semua iklan di majalah Kedjawen masih diganduli beban untuk menginformasikan kegunaan (utulity) dari produk.



Di sisi lain, jejak ”Politik Etis” sangat kuat mewarnai bahasa-bahasa iklan di majalah Kadjawen periode 1930-1940. Sejumlah iklan tak hanya menginformasikan produk tertentu, tetapi juga berusaha ”mendidik” dan mengubah kebiasaan rakyat di tanah jajahan yang belum mengadopsi cara hidup modern. Umpamanya, dalam iklan arloji Rubicon diajarkan pentingnya sikap tepat waktu, terutama bagi guru yang menjadi teladan murid-muridnya. Ini jelas pengenalan konsepsi modern tentang ”waktu” yang menuntut ketepatan (punctuality) , presisi dan efektivitas yang tentu berbeda, misalnya, dengan konsepsi waktu di kalangan petani. Iklan dari Post-, Telegraf-en Telepoondienst (Pos, Telegram dan Kantor Pos) secara eksplisit menyatakan do’a yang seringkali dipanjatkan untuk menyertai perjalanan tak diperlukan lagi. Ini karena layanan mereka sangat bisa diandalkan dan murah. Iklan dengan sadar melakukan semacam ”sekularisasi” yang hendak memisahkan aktivitas sehari-hari dengan laku relgius yang masih kuat dipraktikan oleh kaum bumiputra.



Sementara itu, dalam iklan Postpaarbank diajarkan ”budaya menabung” di bank dengan menggunakan analogi kebiasaan petani yang menyisihkan sebagian hasil panen untuk benih dan kebiassan burung yang memberi makan anaknya. Di sini, kita bisa melihat ikhtiar iklan itu agar mudah ditangkap pesannya oleh konsumen, digunakanlah ilustrasi dalam panel-panel ala strip komik dengan teks di dalamnya. Hal serupa juga bisa kita simak dalam iklan susu formula (Sosoe Tjap Nona) yang mengetengahkan ilustrasi yang memeragakan cara mengangkat dan memandikannya bayi di bak air disertai anjuran memberikan asupan pada bayi berupa susu formula. Iklan ini menarik karena mengenalkan rakyat dengan bentuk asupan yang tak lagi semata-mata berasal dari air susu ibu (ASI), melainkan dari susu formula yang dikalengkan. Kebiasaan mengonsumsi makanan yang diawetkan dalam kemasan (kaleng) juga bisa ditemui dalam iklan Corned Beef yang mengklaim diolah dengan bersih (higenis) . Secara tidak langsung, iklan ini mengajarkan konsep pengolahan makanan yang higenis dan bisa dipertanggungjawabkan dari segi kesehatan.



Yang tak kalah menariknya, sejumlah iklan di majalah Kadjawen juga mempromosikan teknologi modern, seperti listrik dan mobil (otomotif). Sebagaimana dinyatakan Mrazek (2006:115), ”Dan, sungguh menyenangkan, gagasan bahwa orang modern dapat membangun sumber listrik entah di mana di rumah itu untuk mengaliri lemari es, dan, dengan demikian, di tengah-tengah Hindia Belanda, menciptakan sebuah dunia bagi dirinya sendiri.” Bahkan, di Hindia Belanda terbit bulletin Alles eletrisch in het Indische huis (yang mirip dengan Bulletin yang terbit di Belanda) pada Juni 1931 dengan tiras 30.000 setiap bulannya yang dalam nomor perdananya mempromosikan peralatan listrik seperti kotak pendingin dari General Electric yang mampu menyimpan makanan secara hegenis (Mrazek, 2006: 115). Di titik ini, perkembangan teknologi (dalam hal ini listrik) dianggap memiliki pertautan erat dengan upaya meningkatkan kualitas kesehatan manusia modern. Dalam iklan bola lampu merek Philips disebutkan, ”Banyak mata rusak karena lampunya kurang terang” (Katah mripat risak djalaran dilanipoen kirang padang). Iklan itu berisi teks yang memberi nasihat (yang dituturkan dalam gaya orang pertama) pada konsumen, ”Mengapa Anda tidak mengerti, kalau di waktu malam oleh karena lampunya kurang terang serta cahayanya kurang baik itu untuk mata buruk sekali dan membuat rusak. Oleh karenanya saya sarankan untuk menggunakan lampu Philips yang terangnya mencukupi.” Keunggulan lain dari teknologi modern (otomotif) adalah mampu meningkatkan pendapatan. Mobil Chvrolet Touring dengan 7 kursi diiklankan, ”pendapatan Anda akan bertambah banyak bila taksi Anda mobil Chevrolet 7 kursi” (Chevrolet 7- zit).



Teks-teks iklan dalam majalah Kadjawen sebagian besar menggunakan bahasa Jawa (dengan huruf Jawa dan Latin) dan bahasa Belanda, sementara yang menggunakan bahasa Melayu (Indonesia) bisa dihitung dengan jari. Teks berbahasa Melayu (Indonesia) itu agaknya digunakan pada produk yang merupakan keperluan sehari-hari, seperti sabun mandi Lux, pisau cukur Minora dan cream rambut Stacomb. Sementara, untuk produk lainnya, termasuk produk cangkul, teks iklannya menggunakan bahasa Jawa agar lebih dekat menyapa konsumennya. Misalnya, teks iklan cangkul Maesa berbunyi begini, ”landep sanget patjoel tjap Maesa” (tajam sekali cangkul cap Maesa/kerbau). Minimnya pemakaian bahasa Melayu (Indonesia) dalam iklan-iklan di majalah Kadjawen karena bahasa Indonesia, yang diikrarkan sebagai ”bahasa persatuan” dalam ”Sumpah Pemuda, merupakan bahasa pengantar kaum nasionalis radikal (Keane, 2003). Di samping itu, sebagian besar masyarakat masih mengunakan bahasa ibunya (bahasa daerahnya) ketimbang bahasa Melayu. Menurut Mrazek (2006:47), ”Melayu, sebagai bahasa pertama di Hindia Belanda akhir masa kolonial, hanya digunakan oleh beberapa orang di kota-kota kosmopolitan, terutama Batavia.” Dengan demikian, bahasa Melayu memiliki atribut sebagai bahasa kaum pergerakan radikal dan terbatas penggunanya.





Catatan Akhir

Harus diakui, bagi konsumen hari ini sejumlah iklan yang dimuat di majalah Kadjawen periode 1930-1940 itu memang kelewat sederhana dan terlampau”naif” dalam membujuk rayu konsumen. Visualisasinya yang tak kompleks (sebagaian besar berupa ilustrasi tangan dan sebagian yang lain foto hitam-putih) jelas tak memanjakan mata kita dan mengajak tamasya visual. Begitu pula, rangkaian teks (body copy) dalam iklan itu jauh dari bahasa-bahasa yang seduktif, jika tidak malah terkesan instruktif bagi konsumen hari ini. Iklan-iklan pada masa kolonial sebagaimana dimuat dalam majalah Kadjawen barngakali menggarisbawahi pernyataan Judith Williamson (1978: 47), ”Iklan mengaburkan dan menampik isu riil dalam masyarakat yang bertautan dengan kerja: pekerjaan, upah serta siapa bekerja untuk siapa. Iklan menciptakan pembedaan sosial yang bertumpu pada struktur kelas dalam masyarakat.”



Meski demikian, iklan-iklan itu kini memiliki nilai yang tinggi justru tampak sebagai sesuatu yang layak untuk dikoleksi. Ini karena iklan-iklan itu mampu membangkitkan sesuatu yang eksotik sekaligus nostalgia tentang sebuah ”zaman normal” dan belum disesaki oleh pelbagai produk dan gelontoran citra (images) dari pelbagai penjuru yang kini kian sulit dibendung.





Daftar Bacaan

Fowles, Jib. 1996. Advertising and Popular Culture. London: Sage.

Jhally, Sut. 1987. The Codes in Advertising: Fetishism and Political Economy of Meaning in the Consumer Society. London: Frances Pinter.

Katalog Pameran Iklan Koeno ”Masa Laloe Selaloe Aktual: Djawa dalam Perspektif Reklame Tempo Doloe 1930-1940.” Yogyakarta: TeMBI.

Keane, Webb. 2003. ”Public Speaking: On Indonesian As the Language of the Nation. Public Culture, 15 (3), hal. 503-530.

Leiss, William; Kline, Stephen; Jhally, Sut. 1990. Social Communication in Advertising: Persons, Products and Well-Being. London & New York: Routledge.

”Mari Belajar dari Iklan.” Kompas, 6 Mei 2007.

Mrazek, Rudolf. 2006 (2002). Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni. Alihbahasa Hermojo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Razif. n.d. ”Bacaan Liar: Budaya dan Politik Pada Zaman Pergerakan , ” http://www.fortunecity.com/millennium/oldemill/498/selectedworks/B-Liar1.html (diakses pada 30 Mei 2007)

Williams, Raymond. 1980. ”Advertising: The Magic System.” Dalam Problems in Materialism and Culture: Selected Essays. London: Verso.

Williamson, Judith. 1978. Decoding Advertising: Ideology and Meaning in Advertising. London: Marion Boyars.

*) Pokok-Pokok Pikiran disampaikan dalam Diskusi bertajuk “Jejak Iklan dan Imaji Konsumsi” yang diselenggarakan oleh TeMBI Yogyakarta, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada dan Pusat Studi Perempuan, Media dan Seni “Anjani”, Universitas Sanata Dharma, Ruang Seminar FISIPOL UGM, Yogyakarta, 4 Juni 2007.


http://budiirawanto.multiply.com/journal/item/4/Imaji_Konsumsi_Kolonial_Iklan_dan_Media_Cetak_di_Era_Kolonialisme

No comments:

Post a Comment